Mellifluous
Beberapa orang terhubung karena musik.
Begitupun dengan Altar dan Raya.
://1259 words
Malam ini, langit terlihat lebih indah. Bulan dan bintang yang menerangi malam membuatnya menjadi semakin indah dan spesial.
Setidaknya, itulah yang dipikirkan Altar sebelum sang Ayah mengajaknya pergi ke acara perkumpulan rahasia orang orang tua. Setidak menarik itu perkumpulan itu sampai rasanya Altar ingin sekali kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya.
"Yang kali ini beda Al.." Beda, selalu seperti itu setiap minggunya. Perkumpulan rahasia yang bahkan tidak lebih dari sekumpulan orang seumuran ayahnya yang saling mengajak anak mereka untuk membicarakan bisnis dan perjodohan agar bisnis mereka menjadi lebih maju.
"Yah.. gabisa ya aku sekali aja ga ikut? Mama sendirian di rumah, kakak belum pulang. Just this once yah" rengekan itu tidak akan pernah didengarkan sang ayah. Karena sekali ayah bilang itu, maka akan tetap menjadi itu.
"Ck, yaudah iya aku ikut" Senyumnya kini tertarik, Altar memang tidak akan pernah bisa berhenti menuruti ayahnya.
"Maaa, berangkat"
"Iyaaa" Setelah sahutan dari Mama, Ayah dan Altar kini sudah berada di dalam mobil. Ditemani dengan lagu Bruno mars yang selalu diputar Ayah ketika mereka naik mobil.
Altar terdiam memandangi langit lewat kaca mobil. Sesekali bersenandung kecil, Ayah hanya meliriknya sekilas kemudian kembali fokus menyetir mobil.
Memang tidak ada yang spesial dari acara ini, sudah banyak beberapa orang tua yang saling mengenalkan anak mereka. Tidak sedikit pula remaja yang dibawa orang tua mereka terlihat sangat senang karena dipertemukan dengan calon mereka.
"Sana, kamu liat liat dulu." Liat liat apanya? Altar bahkan sudah hafal seluruh seluk beluk tempat ini.
Baru saja Altar berjalan sebentar, ayahnya sudah tidak ada lagi di sekitarnya. Altar menghela nafasnya, kemudian kembali berjalan jalan mengitari gedung yang sering dijadikan tempat perkumpulan itu.
"Bosen banget anjir, blah blah blah. Ayah kenapa sih ga mau ngebiarin gue dirumah, padahal kan malem waktunya tidur. Gue aja disini ga nemu cewek yg gue mau" Altar sesekali mengambil beberapa kue kering yang disediakan disana, ya daripada ga ngapa ngapain.
Namun, seketika matanya tertuju pada seorang gadis yang tengah duduk didepan sebuah piano. Sepertinya gadis itu akan memainkan piano itu. Tak sengaja, netra nya menangkap sang ayah yang tengah berada disekitar gadis itu.
"Cantik kan? Anak temen ayah" ucap ayah saat altar baru saja berdiri disampingnya. Kali ini tak ada penolakan. Altar mengangguk menjawab pertanyaan ayahnya, matanya seolah tak bisa berpaling.
Jari jari lentik gadis itu kini menari di atas piano, memainkan Clair de Lune karya Debussy. Lagu yang sudah sangat sering Altar dengar. Bukannya merasa bosan, altar malah semakin tertarik.
"Cantik" gumam Altar, beberapa helai rambut gadis itu terjatuh. Membuatnya kembali terpana karena kecantikannya.
"Yah, kenalin." Kali ini, Altar tak merasa menyesal telah datang kemari. Ayah tersenyum puas, akhirnya anak semata wayangnya ini menemukan gadis yang benar benar memikatnya.
"Loh, sebelum kenal sama anak saya. Harus kenal sama bapaknya dong" Suara itu muncul tiba tiba, Altar kini menatap teman ayahnya. Altar sedikit membungkukkan badannya.
"Selamat malam om, saya Altar Dewangga anaknya bapak Rian Dewangga, mau kenalan sama anak om" Dimas terkekeh pelan.
"Anak lo lucu yan hahaha"
"Coba kamu tanya langsung ke anak saya, dia mau gak kenalan sama kamu" Altar mengangguk cepat, tetapi baru saja ia melirik kearah panggung tempat sang gadis bermain, gadis itu sudah hilang dari sana.
"Om?" Altar menatap Dimas kebingungan, sedangkan Dimas kini tersenyum miring melihat Altar.
"Itu tantangannya, kalo kamu bisa nemu anak saya. Kamu lolos seleksi"
"Udah sana, hus hus. Ayah mau ngobrol lagi, kamu cari aja anaknya om Dimas. Selera kalian sama kok" setelah mengucapkannya, Ayah dan Om Dimas kini pergi. Kembali mengobrol tentang bisnis mereka.
"Aghhh, 'selera kalian sama kok' gue suka apa ya.." Altar berfikir sembari berjalan, masih dengan tangannya yang sesekali mengambil kue kering diatas meja yang dilewatinya.
"Langit?" Altar menepuk kedua tangannya, membersihkan sisa remahan kue kering yang masih menempel. Ia sudah menentukan tempat yang akan dituju.
Rooftop.
Tempat yang dituju Altar adalah rooftop, tentu saja karena melihat langit lebih indah dari rooftop. Dan betul saja, pintu rooftop itu terbuka. Menandakan bahwa ada seseorang disana.
"Hi?". Gadis itu disana, menatap Altar dengan tatapan bertanya. Cukup tajam, tapi tetap terlihat cantik.
"Ah, gue mau istirahat disini. Dibawah ga seru banget, jadi ya.. gue ke sini haha. Kalo ganggu, gue bisa pergi lagi kok". Altar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu. Mencoba menghilangkan rasa gugupnya.
"Oh, yaudah disini aja. Gue juga ga suka dibawah". Senyum Altar mengembang mendengarnya, benar kata ayah, selera mereka sama.
"Gue Altar, lo?". Mereka kini saling menatap satu sama lain. Gadis itu tersenyum, kemudian kembali memandangi langit malam yang indah itu.
"Gue Raya". Keduanya diam sejenak, tenggelam dalam pikiran masing masing.
"Lo sering ikut ayah lo?". Lagi, Altar lah yang membuka pembicaraan mereka.
"Baru pertama kali, lo?".
"Sering". Diam menghiasi lagi.
"Wah, gws haha. Gue yang baru pertama kali ikut aja udah ngerasa bosen. Apalagi lo". Raya kini memandang Altar.
"Banget, rasanya gue pengen nolak. Tapi gabisa terus."
"Tadi, lo bagus main piano nya." Altar tersenyum mengingat penampilan Raya tadi.
"Clair de Lune huh?". Raya terkekeh mendengarnya.
"Thanks buat compliment nya. Ya, Clair de Lune, buat sinar bulan yang selalu nemenin gue."
"How sweet hahaha". Perlahan, posisi duduk Altar semakin mendekat dengan Raya.
"Lo buaya juga ya?". Celetuk Raya ketika perlahan Altar semakin mendekatinya.
"Haaah? Kok gitu?"
"Gaya lo keliatan banget, terlalu gercep hahahaha". Raya tertawa sembari mengikat rambutnya yang tadi ia biarkan terurai.
"Gercep gapapa, orang lo nya cantik begini. Siapa coba yang mau diduluin orang lain?". Semburat merah perlahan muncul di pipi Raya.
"Tadi kata bapak lo, gue lolos seleksi kalo berhasil nemuin lo"
"Papa bilang gitu? Kurang ajarrr, gue ga ada ngizinin apa apa!". Sebaliknya, kini Altar yang tertawa.
"Kayaknya kalau kita udah nemu calon, udah gaakan dipaksa buat ikut kesini lagi deh. Mau gak?". Raya menatap Altar kesal.
"Apa apaan, tapi untung juga sih..".
"Kan? Gue ganteng juga loh, kata ayah gue selera kita sama. Gue juga suka langit, apalagi kalau udah ada bulan sama bintang, perfect. Gue juga suka ngelukis dan main piano sama mama, makanya gue seneng liat penampilan lo waktu mainin Clair de Lune tadi." Mereka saling bertatapan, Raya terdiam memikirkan ucapan Altar.
"Iya sih, sebenernya kan Altar doang yang bisa nyambung kalo ngobrol sama gue."
"Ga seru banget tapi, masa nembak nya kayak gini". Altar mencubit pipi Raya setelah mendengar pernyataan Raya tadi.
"Yaudah, mau di tembak kayak gimana hm? Tembak mati?". Raya memukul bahu Altar pelan.
"Gue batalin nih anjing".
"HEHEHE BERCANDAA, gue mainin piano dulu ya. Besok ditembaknya lebih resmi lagi." Altar meraih tangan Raya, menggenggam nya, kemudian membawanya ke aula lagi untuk menunjukkan penampilannya saat bermain piano.
"Ekhem ekhem, tes 1 2 3". Mic yang dites oleh Altar kini menarik perhatian beberapa orang disekitar mereka. Termasuk Ayah dan juga om Dimas.
"Anak lo yan".
"Ada anak lo juga dim". Keduanya tertawa, memperhatikan anak mereka sembari mengingat masa muda mereka.
"So, ya yaudah mau nge tes doang." Ucap Altar lagi.
Perlahan, Altar mulai memainkan pianonya. Lantunan pianonya ia selaraskan dengan suara nyanyiannya, sesekali ia melirik Raya yang juga tengah meliriknya dengan senyum yang sedikit tertahan.
Senyum Altar semakin lebar, lagu yang ia nyanyikan benar benar dinyanyikan dengan sepenuh hatinya.
"So darling, darling don't be scared
'Cause even if I look everywhere
Your colours caught my eye
And you're my favourite sight to see"
Penampilan Altar diiringi dengan tepuk tangan yang meriah. Dan dihadiahi dengan senyuman manis Raya, perlahan Raya berjalan mendekatinya.
"So this is how we fall in love?". Tanya Raya, Altar mengangguk.
"Yes this is". Keduanya tersenyum, Saling menggenggam tangan, mereka turun dari panggung dengan senyum yang tak pernah luntur.
"Cielah anak muda jaman sekarang".
Malam ini, memang malam yang sangat indah.